h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Cerpen Horor 'Selamat Malam' | Kumpulan Cerpen Laung #1

cerpen horor


Cerpen Horor 'Selamat Malam'

Dari: Nandar IR

"Aku beruntung menikahimu. Saat tidur begini pun aura cantikmu begitu indah membelalak mataku." Lontaran pujian, hampir setiap hari, keluar dari mulut lelaki bernama Egi.

Benar, beruntung sekali nasib-nasib Egi. Ia terlahir kaya sejak kecil. Ayahnya pemilik usaha kafe terbesar di kota. Toko oleh-oleh orang tuanya juga punya cabang. Lumayanlah, sepuluh biji saja.

Saat dewasa, ia tak perlu bawa map, cari pekerjaan. Menunggu ayahnya mati, perusahaan ada di tangan. Maklumlah, anak semata wayang. Tidak ada ahli waris lain.

Ayahnya keparat sebetulnya. Si tua bangka itu mati tabrakan dengan selingkuhan. Sialnya, sang wanita adalah pacar anaknya. Dua hari kemudian, ibunya ikut mati karena jantungan.

Nasib dan rasa sakit Egi Bercampur saat itu. Keberuntungan hidupnya langsung dihajar habis-habisan. Sisa keberuntungannya hanya peninggalan sang ayah. Semua harta diwariskan atas nama Egi.

Untung, ia lelaki yang cukup kuat. Semua luka di hatinya bisa terobat dalam sesaat. Lagipula, harta dan tahtanya malah semakin meningkat.

Urusan perempuan, ia bisa 'membeli' siapapun yang ia mau. Dan pilihannya adalah perempuan yang sedang lelap ini, si pemilik wajah ayu.

Malam ini sebetulnya malam pertama mereka. Tapi melihat sang istri, ia tak tega. "Biarlah ditunda dulu." Pikirnya. Lalu ia tidur sembari memeluk pujaan hatinya. "Selamat malam."

"Teng... Teng... Teng..." Suara jam antik di lantai satu rumah menggema. Egi terkejut, ia tak pernah mengatur alarmnya tepat tengah malam. Mungkin karena jam itu sudah terlalu antik, jadi agak eror dan bekerja sesukanya sendiri.

"Sayang, bangun." Egi menepuk pundak istrinya. Ia bermaksud ingin ditemani, mengecek jam itu. Tapi istrinya itu terkenal susah bangun. Tukang tidur.

Terpaksalah Egi berjalan sendiri. Aneh, padahal jam antik itu di lantai bawah. Tapi suaranya benar-benar bising di telinga. Padahal ia tak pernah sekalipun mendengar gemaanya sejak ia bocah.

Menepis gelap dan ketakutan, ia lalu turun. Dinyalakannya saklar lampu lantai bawah.

"Siapa itu?" Lelaki dengan perut berkotak enam itu melihat sesuatu. Bayangan hitam yang sekelebat menghilang, menuju dapur.  Bentuknya mirip guling, tapi bukan pocong, tanpa rambut, tanpa kaki dan tangan. Siapapun akan bergidik melihatnya.

Kumpulan cerita horor, cerpen horor, hantu bayang,
pixabay/Clker-Free-Vector-Images


Egi pikir itu ulah si bayangan, mengatur alarm di tengah malam. Namanya setan, selalu suka cari perhatian.

Dengan berani Egi mendekati jam antik, terlalu mengganggu di telinganya. Langkah kakinya berjalan perlahan, ia sungguh ketakutan. Jangan-jangan ayahnya gentayangan.

Dari arah pintu dapur yang terbuka, kembali tampak sesosok bayangan itu. Tapi kali ini ia memiliki dua kaki dan tangan lengkap dengan jari-jemari namun tanpa kuku. Tentu, dengan kepala juga.

Kaki Egi yang berurat dan cukup kokoh itu mulai agak bergemetar. Ditambah dinginnya ruangan, seolah membuat beku langkahnya.

Bayang itu menoleh perlahan, seperti tahu ia telah ketahuan. Egi makin terguncang. Kini kedua tangannya ikut membeku. Hanya kepalanya saja yang bisa gerakkan.

Saat bayang itu menoleh, ada suara retakan tulang yang jelas didengar Egi. Bayang itu memaksa memelintir kepalanya. Egi menahan napas, ngilu mendengar suaranya.

"Bruak!" Tiba-tiba saja pintu dapur tertutup, saat si bayang hampir menampakkan seluruh wajah menyeramkannya. Egi hanya sempat melihat wajahnya beberapa detik. Matanya melotot, cairan merah darah mengucur deras. Mulut tanpa gigi, hanya sepasang bibir terbuka lebar.

Nahas, lelaki itu hampir mati berdiri dibuatnya. Seluruh badannya benar-benar bergidik, pucat tak karuan.

Nasib sial Egi belum berakhir. Kini semua lampu rumah mati menyala dengan sendirinya. Bahkan beberapa lampunya sampai pecah, memercikan listrik.

"Woy.... Muncul sini...!" Egi berteriak, frustasi dengan nasibnya. Malam ini seharusnya indah buat dirinya.

Suara siulan terdengar, seperti sengaja memanggil Egi. Egi mencari-cari sumber siulan. Kepala Egi berhenti, melihat ke satu titik. Di lantai atas.

Sosok bayangan hitam kini tepat di pintu kamarnya, di lantai tiga. Si bayang kini punya gigi, bercampur darah kental. Nyengir, merasa sudah menang. Si bayang pengganggu itu membuka pintu, lalu membuka pintu kamar.

"Jeder!" Lagi-lagi pintu di tutup keras, mengagetkan. 

Egi yang sudah mulai gila, berlari menuju kamarnya. Kedua kakinya tiba-tiba saja normal seperti biasa. Tak ada waktu, ia takut istrinya diganggu. Tidurnya bisa-bisa jadi tak ayu.

Benar saja, saat Egi tiba, suara cakaran di dinding didengarnya. Bayang itu mungkin sudah berkuku. Suara cakarannya lebih ngilu dari tulang retak tadi. Egi sampai menutup telinga.

Egi menengadah, ia melihat lampu kamarnya berkedip-kedip dari jendela boven. Kedipannya semakin cepat, terus-menerus, hingga akhirnya pecah dan mati.

"Aaaaa..." Egi mendengar istrinya berteriak. Jiwanya tersentak, matanya terbelalak. Wajahnya pasi, bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya panas dingin, mau mati.

Wajahnya terlihat kaget, tak menyangka. Perlahan ia mundur, benar-benar terguncang. Tak sadar, Egi telah berada di pagar pembatas lantai tiga.

***

Tiga hari kemudian, rumah Egi dililit garis polisi. Sekumpulan orang dan wartawan menjadi saksi. Sosok pria muda ditemukan mati. Tanpa luka, tanpa gejala, hanya benar-benar pucat saja. Egi ditemukan terkapar di lantai bawah rumah, tepat di depan jam antik milik ayahnya.

Kematian Egi tersebar begitu cepat ke sosial media. Beberapa orang jahil mulai mengarang cerita, siapa tahu viral, menaikkan pamor mereka. Yang lainnya ikut berduka cita.

Seorang polisi yang memeriksa rumah Egi, bergegas melapor pada komandannya. Sebuah buku catatan kecil dipegangnya.

"Laki-laki itu sudah mati Pak."

"Lalu, wanita itu?"

"Seperti dugaan kita, wanita itu disimpan di kamarnya."

TAMAT
Posting Komentar

Posting Komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!