h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Kalau Realitas Hidup Bukanlah Tentang Uang, Aku Mau Hidup dan Menulis Saja

menulis karena uang

Bukankah judul tulisan ini agaknya berlebihan? Sebab memang, realitas serta mayoritas manusia zaman ini, ya ujung-ujungnya soal uang untuk melanjutkan kehidupan. Ya termasuk seorang bernama Nandar, si pemilik blog yang mulai digemari satu dua orang ini. Saya, dengan terpaksa mengatakan, saya juga butuh uang. Dibangunnya blog ini juga pasti mengharap imbalan berupa uang. Meski beralibi dengan mengatakan "hanya bonus", tapi tetap saja akan merasa kegirangan tatkala uang cair dari Adsense.

Sejujurnya saya juga tidak mau bergelut dengan salah satu money effect ini. Karena jelas, mengganggu ketenangan saat menulis. Mengganggu imajinasi sanubari yang hendak dituang dalam kata-kata penuh arti. Gila saja, saya harus memikirkan tektek bengek optimasi, SEO, 300 kata lebih, harus bersubjudul, dan aturan SERP lainnya. Sedangkan jelas dalam hati saya, ada rasa idealis tentang bagaimana rasanya mengalir dalam tulisan sendiri. Tanpa aturan itu semua. Hak bicara di negeri ini sudah dibatasi petinggi, ini ditambahi bapak Google yang sebetulnya lebih sering baik hati.

"Ah, tergantung sih. Seharusnya kamu bisa mengerjakan keduanya. Idealisme dalam menulis, dibarengi optimasi. Semua bisa disejajarkan dan dikerjakan."

Ada betulnya juga kalimat itu. Tapi, sering kala, otak manusia lebih condong pada sesuatu yang menguntungkan nafsu saja. Atau memang itu hanya dirasakan oleh saya saja ya? Karena memang biasanya saya merasa begitu. Saat bersedia mengeluarkan uneg-uneg dalam sebuah tulisan, eh tiba-tiba sisi optimasi datang menjangkiti. Lupa memasang keyword di paragraf awallah, memutuskan pilihan antara mau dibuat listicle atau tulisan biasa, menanya apakah keyword-nya tepat atau tidak, dan sebagainya. Pada akhirnya, situasi otak jadi berbeda. Rasa idealis jadi mulai terkikis perlahan, kadang tak diduga. Dan masalah terbesarnya—yang saya pribadi rasakan—adalah hilangnya rasa nikmat dan ketenangan saat menulis.

Okelah kalau tulisan itu juga diatur tanda baca. Tapi buat saya pribadi, aturan itu memang sudah sesuai dan tak berseberangan. Gunanya untuk memperindah tulisan, bukan mempergendut kekayaan. Susah rasa-rasanya jika memutus hubungan optimasi sebuah tulisan dengan niat cari uang. Keduanya, sepertinya memang sudah ditakdirkan musti dipersatukan.

Menulis adalah salah satu cara saya supaya bisa sedikit melupakan masalah dunia. Bahkan jadi yang paling utama setelah ibadah tentunya. Ketika wadah ketenangan diganggu oleh duniawi itu sendiri, apa gunanya saya menulis? Begitu kira-kira pemikiran singkat dan tak jelas ini. Satu sisi saya begitu fanatik dengan menulis, satu sisi juga berharap dapat uang dari menulis. Jika ada dua sisi yang harus dipilih dalam sebuah konteks, maka artinya bakal muncul masalah. Mengejar keduanya, seperti yang saya sebut di atas tadi, agaknya rumit dan termasuk kategori idealis juga. Ketika muncul sebuah masalah, artinya aktifitas otak sedang kacau-kacaunya. Simpulannya, ketenangan yang diharapkan malah tak pernah ada.

Itu sebabnya, saya memutuskan untuk membuat judul tulisan di atas, seperti itu. Seandainya uang bukanlah kebahagiaan utama dunia, maka saya akan memilih menjadi penulis saja. Tak perlu sebesar Om Andrea Hirata dan tetralogi Laskar Pelanginya, atau J.K. Rowling dan Wizzarding World-nya, cukup saya dan Ruang eNIeR saja. Misalnya dapat banyak pembaca, ya itu hanya bonus saja. Eh. Maksud saya, mendapat satu atau lebih pembaca, itulah kenikmatan yang sesungguhnya. Apalagi jika pembaca itu mengomentarinya dan sesuai konteks tulisan, atau mengerti dengan apa yang kita tuangkan. Kedua itu jauh lebih bisa dinikmati ketimbang pusing cari receh tak henti.

Jauh berbeda ketika tujuannya, pembaca harus mengeklik iklan sebanyak-banyaknya. Iklan dipasang di setiap sudut blog. Di sidebar, beranda, header, footer, dan lain sebagainya. Sampai benar-benar lupa makna apa yang hendak dituju dari tulisan. Esok paginya, ketika mengecek Adsense, ternyata penghasilan tak sesuai harapan. Selepas itu, mengeluhlah yang datang. Merasa gagal jadi blogger, merasa membuang waktu, merasa takada gunanya.

Belum lagi masalah lainnya, yang berhubungan langsung dengan aturan Adsense. Mulai dari hal kecil seperti susah approve blog ke Adsense, pembatasan iklan, sampai ke boom click orang iseng. Bagaimana mau bisa bermesraan dengan tulisan, kalau semua hal di atas menjadi orang ketiga yang memusingkan. Kalau sudah susah mengaturnya, bisa-bisa putus, dibuang begitu saja.

Sejak pertama kali mengenal rasa sepi, saya dan tulisan adalah kerabat sejati. Menulis akan selalu hadir ketika saya membutuhkannya. Memang bukan satu-satunya, tapi itu tadi, sudah jadi yang paling utama. Mengelurkan segala tipu daya dunia pada sebuah tulisan memanglah nikmat rasanya. Kadang kalau sudah sampai hati, tangisan bakal mudah keluar dari mata. Kalau sudah sampai hati, semua alibi pemerintah bakal terbuka.

Maka, salah satu jalan terbaik yang saya lakukan adalah, membuat dua blog. Ruang eNIeR adalah sekumpulan tulisan yang cenderung realistis, sedangkan Diari eNIeR lebih ke sisi idealis. Tak memikirkan optimasi sama sekali. Mengalir, sesuai pikiran jernih. Meski memang kemarin-kemarin dipasangi Adsense, tapi pada akhirnya saya hapus juga. Ngapain dipasang, toh kurang memikat hati banyak orang. Fokus memikat ke tulisannya saja.

Kalau realitas hidup bukan soal uang saja, saya jelas akan memilih menulis sebagai cara bahagia. Kalau cara bertahan hidup di dunia bukan hanya soal besok makan atau tidak, maka saya pilih menulis saja sebagai caranya. Kalau mewujudkan kemustahilan ini begitu rumit, setidaknya aku masih bisa menulis tanpa ada yang melarangnya. Tanpa ada yang mengganggunya. Begitu saja.
Posting Komentar

Posting Komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!