h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Ketika Sosial Media Dibuat Kasta

sosial media

Sejak awal mula mengenal sosial media pada pertengahan tahun 2011-an, rasa-rasanya tak pernah ada klaim para penggunanya yang beranggapan situs sosmed mereka jauh lebih baik. Di tahun yang saya kira sosial media sedang naik daun, para pengguna justru begitu fokus pada tujuan utama dan alasan mengapa sosial media dibuat. Ialah bersosialisasi.

Meski tak sebanyak sekarang, para veteran di sosmed jauh lebih paham cara mengaksesnya dengan baik dan benar. Mencoba saling mengenal satu sama lain, berbagi ide, hobi, bahkan cerita pribadi. Sangat mengasyikan.

Tidak ada yang namanya pengkategorian atau pengkastaan antar sesama pengguna. Baik di lingkup sosmed yang mereka gunakan, maupun sosmed lain. Tidak ada sentilan masalah siapa yang lebih dark jokes, antar Facebook dan Twitter. Semua terkendali, aman, nyaman dan tenteram dengan sosial media masing-masing. 

Namun, entah sejak kapan dan darimana asal usulnya, pengkastaan sosial media mulai semakin mengacaukan dunia maya, hingga saat ini. Setidaknya menurut saya. Pengkastaan itu terdiri dari level cringe atau bisa kamu maknai sebagai tingkat kegelian (ketika melihatnya), komedi tingkat tinggi, elit, dan sebagainya. Semua diatur berdasarkan klaim pengguna masing-masing di sosial media kebanggaan mereka. Tanpa ada ketentuan maupun syarat yang terstruktur dan jelas. Benar-benar gegabah. Sampai darimana sebuah topik bisa viral lebih dulu, juga dipermasalahkan.

Saling sindir menyindir di antara sosial media pun tak mungkin terelakkan. Perang antar sosmed, saling berdebat mana yang baik dan yang buruk. Keobyektifitasan begitu sangat bias. Di era post truth ini, keyakinan pribadilah yang lebih unggul dibanding pada kenyataan yang sebenarnya. Kalau kehabisan kata, biasanya, perdebatan berakhir dengan saling mengatai "baperan" atau "dasar bocil". Mengerikan.

Seolah menuhankan sesuatu yang semestinya tak perlu. Kasta dalam dunia sosial media sudah benar-benar mengganggu kedamaian bersosialisasi di dunia maya. Semua saling serang, perang urat jempol. Tidak ada yang sudi mengalah, sebab gengsi dan citra dunia maya mereka, lebih penting untuk dipertaruhkan.

Sebagai orang yang lebih suka mengeksplorasi hal-hal baru di internet, pengkastaan ini pastilah sangat mengganggu. Alih-alih mendapatkan ilmu baru maupun menyimak perdebatan sehat, bermain sosial media di era yang katanya jauh lebih modern ini, justru malah kadang menyulut emosi. Stres melihat bagaimana anak-anak muda sekarang, memanfaatkan sosial media buat perundungan.

Bayangkan, ketika kamu membaca thread Twitter misalnya, tiba-tiba ada yang menyinggung "jangan sampai anak Facebook tahu, otak mereka gak akan sampai." Atau ketika ketika membuka notifikasi grup Facebook, ternyata hanya meme menyinggung anak Tiktok yang entah bagaimana cara mendapat kesan lucu atau menariknya.

Menyaksikan perdebatan ala sosial media juga hampir jarang berguna. Alih-alih layaknya debat pemilu atau debat ala Mata Najwa, perdebatan antar sosial media justru lebih mirip gedung mewah DPR yang isinya anak-anak PAUD. Argumennya sering kali seadanya, asal-asalan, yang penting bisa membuat lawan debat menyerah kemudian kalah. 

Kadang, pikir ini bertanya-tanya, "tingkat literasi bangsa Indonesia masih berada di bawah rata-rata, tapi kok banyak yang pandai berdebat seolah sering membaca?" Kamu juga pernah berpikir begitu? Oke, kita satu server hyung.

Pertanyaan tersebut juga sempat disinggung oleh artikel dari mbak Evita Devega yang berjudul: TEKNOLOGI Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos dalam situs Kominfo. Dalam artikel tersebut, mbak Evita menjelaskan tentang keironisan masyarakat kita. Kamu tentu wajib membacanya.

Berbaik sangka saja, mungkin, semua riset yang dilakukan UNESCO maupun yang lainnya hanya sebuah obrolan makan siang. Ketika sedang asyik minum teh, salah satu dari mereka keceplosan ingat Indonesia.

"Yaudahlah, taruh Indonesia di peringkat ke-60. Siapa tau mereka kesel sama kita. Kan, lumayan bisa pansos. Kalau udah panas, tinggal klarifikasi aja. Nanti juga banyak yang bela." Ucap wakil penasihat UNESCO, kira-kira.

Sukar untuk bisa kembali menemukan ketenangan bersosial media di era ini. Sukar menemukan teman baru yang bisa berbagi hobi. Sukar menyaksikan perdebatan sehat ala acara Pak Karni. Hampir semuanya basi dan berujung bully.

Pengkastaan ini, dari beberapa kasus, membuat pengguna veteran yang memang terbiasa dengan kedamaian, mengalah dan akhirnya bubar jalan. Banyak yang sudah tidak lagi merasa nyaman, akibat pengkastaan. Saling mengeluarkan ejekan bukanlah tujuan mereka seperti awal masa naik daun. Mereka tidak lagi menikmati bersosialisasi dengan teman baru di sosial media masing-masing. Era ini memang bukan era mereka lagi, kemungkinan.

Saya cukup paham bagaimana kebebasan berekspresi sudah mulai berkembang, dan itu menurut saya baik. Namun bagaimanapun, semestinya tak perlulah menginput opini yang sebetulnya tak ada kebermanfaatan sama sekali. Bukannya saling terhubung (misi sosial media secara umum), hal tidak penting itu justru mengakibatkan ribut antar pengguna dunia maya. Pada akhirnya, bisa saja suatu saat nanti perundungan sudah dianggap legal lalu beralih jadi salah satu budaya bangsa.

Semua sosial media yang kita gunakan, memiliki ciri khas masing-masing. Instagram dengan feed-nya, Facebook dengan fitur grup serta halamanya, TikTok dengan video kreatif 15 detiknya, Twitter dengan thread serta trending-nya, dan ciri khas sosial media lainnya yang tidak bisa saya sebutkan semua. Kamu bisa memilih salah satu atau bahkan semua, tanpa perlu "memending-mendingkan" nya. Tak perlu saling singgung, saling serang, saling hina.

Kita harus kembali ke konsep awal mengapa sosial media dibuat. Yakni bersosialisasi dan saling berbagi antar pengguna lain. Saling terhubung dengan orang lain, dengan niat mencari teman satu server. Ini juga berlaku buat para karyawan di sosmed masing-masing. "Hei, jangan sibuk mengembangkan fitur dengan tujuan profit lebih tebal. Ingatlah, kau punya kecerdasan bukan buatan. Kau punya empati, dan kau sadar itu."

"So, lets get back to making sosial media, fun without psychological warfare." -Ruang eNIeR 
5 komentar

5 komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!
  • Anton Ardyanto
    Anton Ardyanto
    27 Februari, 2021 22:34
    Yah, rasanya sulit untuk bisa menjadikan media sosial selalu "fun", bahkan kalau bagi saya sendiri tidak mungkin. Kecuali di tingkat personal, alias kembali ke diri masing-masing.

    Bagaimanapun, media sosial adalah representasi manusia di dunia maya dan sama seperti di dunia nyata, di sana akan ada kasta, ada warfare, ada caci maki, tetapi juga ada empati.

    Mencoba mengembalikan media sosial ke khittah nya alias untuk bersosialisasi dan berbagai saja adalah sebuah utopia menurut saya. Apalagi ketika di dalamnya ada kepentingan bisnis besar.

    Di dunia nyata sekali pun hal itu tidak mungkin dilakukan, apalagi di dunia maya dimana kebebasan merupakan prinsip dasar yang dipegang. Padahal, kebebasan yang mutlak sudha jelas akan membawa chaos dimana-mana. Di dunia nyata yang kebebasan sudah dibatasi saja khaos itu tetap ada, apalagi di dunia maya dimana kebebasan hampir tiada batas.

    Tapi, memandang dari sudut lain, bagian terakhir dari tulisan di atas adalah sebuah himbauan yang bijak. Bagaimanapun susahnya kita memang harus mencoba mencapai sesuatu yag "ideal" dan idealnya sebuah medsos adalah untuk bersosialisasi dan berbagi.

    Meskipun demikian, kita juga harus menerima sebuah fakta bahwa medsos akan tetap begitu dan tidak akan pernah bisa kembali ke niat awalnya. Tidak ada jalan mundur.

    Bagaimana menemukan titik kompromi antara ideal dan kenyataan itulah yang seharusnya menjadi ekuilibrium baru dalam memandang medsos di masa kini.

    Itu pandangan saya, sebagai ucapan salam kenal ..
    • Anton Ardyanto
      Nandar IR
      28 Februari, 2021 14:32
      Wah, berisi sekali opininya. Hehe.
      Setuju, dunia sosmed memang bisa dikatakan cerminan dunia nyata. Kita memang tidak akan bisa mengubahnya ke waktu awal sosmed mulai banyak yang ngisi. Tapi ya saya sering kesel saja kalau sudah sok elit dengan sosmed kebanggaannya masing".

      Terima kasih kak sudah berkunjung, salam kenal juga dari saya.
    • Anton Ardyanto
      Nandar IR
      28 Februari, 2021 14:35
      Baru ngeuh saya, ini owner maniakmenulis*com ya pak? 😅
    Reply
  • Just Awl
    Just Awl
    05 Desember, 2020 18:12
    Hidup bersosial media di era skrg memang makin bikin runyam, harus kita aja yg pinter-pinter mengontrol dan menghindarkan diri dari perilaku macam gitu. Saya pun sebetulnya udh capek lihat komentar-komentar childish yg berkeliaran disana, dimanapun bahkan. Kadang suka heran sama orang-orang yg "memending-mendingkan" itu, twitter, ig, fb, tiktok kan sebetulnya memang beda platform, dari segi ciri khas dan fitur yg ditonjolkan masing-masing beragam, pun semua orang bisa punya di ponsel masing-masing, kenapa pula mengkotak-kotakan orang lain hanya berdasarkan media sosial tadi🤔

    Oh iya, saya rasa korporasi-korporasi macam IG, Twitter dan teman-temannya sendiri semakin kesini semakin agak bergeser tujuannya dibandingkan dulu. Entah ini hanya perasaan saya saja atau memang kenyataannya begitu. Mungkin kalau dulu cenderung lebih memperhatikan UX dibanding UI, kalau skrg terbalik (eh apa saya yg terbalik ya UX sama UI-nya?😂cmiiw). Plus semakin kesini "media sosial" itu sendiri macam udah jadi marketplace, ada fitur belanjanya. Terbukti dengan fitur baru IG, terus Twitter pun skrg punya fitur story/fleet yg kata orang mulai mirip-mirip IG. Tinggal tunggu aplikasi lain bakal ada pembaruan apa😔
    • Just Awl
      Nandar IR
      05 Desember, 2020 18:35
      Bisa disebut toxic gak sih Awl, orang yang sering mengkotak-kotakkan begini? Atau saya yang tidak "open minded" soal era sekarang?

      Sepertinya untuk jaman dulu, UX emang lebih dititik beratkan deh. Tapi saya juga kurang paham soal itu. 😅

      Kalau untuk penambahan fitur marketplace (di facebook), saya termasuk orang yang kontra dengan itu. Berasa kurang tertarik aja, soalnya masih ada aplikasi lain yang emang ahli dibidang tersebut. Gak taulah, terserah tuan Mark dan antek-anteknya aja. Yang penting jangan sampai ada Facebook Premium.
    Reply