h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Warna-warni Pustaka Baca Lingkar Pelangi

catatan pustaka baca lingkar pelangi

Catatan Pustaka Baca Lingkar Pelangi ini kupersembahkan untuk para Pendekar Pusbaling, dua kapten, dan para pegiat literasi yang sempat jadi memori, dan terus jadi memori.

September, 2017

Kala itu, seorang sahabat lama tiba-tiba saja mengirim pesan lewat WhatsApp. Sudah lama aku tak mendengar kabarnya, ada apa gerangan setiba-tiba itu, pikirku. Kubuka pesannya, ternyata ia menawarkan ajakan padaku, mendirikan rumah baca kecil di kampung kami. Seperti biasa, aku selalu tertarik dengan hal baru yang berkesan positif, meski bertolak belakang dengan kepribadian. Maka, tanpa negosiasi panjang, tawaran itu kuterima. Kuharap dengan itu, aku bisa berkenalan dengan dunia berbicara di ranah asing, melalui anak-anak.

Pada sebuah pertemuan singkat nan canggung di Masjid Raya Singaparna, aku dan perempuan itu berbicara soal, "apa kita sanggup hanya berdua saja? Lagipula terlalu berbahaya, mengingat kampung kami masih kental soal adat agama, juga ghibah tetangga."

Dari obrolan berjarak semeter lebih itu, kami berdiskusi soal masalah tersebut. Sebetulnya kalaupun berdua, aku masih sanggup mendengar ocehan orang luar yang mengarah padaku. Sudah jadi bias dan klasik. Aku bisa gampang, menantang sekaligus menentang mereka. Sedangkan buat perempuan yang sudah tertulis sholehah itu? Aku tak sanggup membayangkannya. Meski kurasa ia bakal sanggup pula, lantang berbicara.

Aku kemudian menawarkan adik dari kakak iparku, untuk diajak bergabung. Selain masih anak SMK, pemikiran idealismenya lumayan bisa diandalkan. Dia juga seorang rohis yang punya skill berbicara baik. Demi menambah tenaga sebagai pelengkap kekuatan kepercayaan pada masyarakat, aku juga menawarkan 3 orang anak SMA dan SMK kelas sebelas, juga teman sebaya Ari, adik dari kakak iparku itu.

Tanpa basa-basi, mendengar semua alasanku, perempuan yang kusapa Nunuy itu langsung menyetujuinya. Sehabis itu, kamipun berpamitan, pulang ke tempat tinggal masing-masing. Aku menuju kampungku, ia ke penjara surganya. Sungguh, obrolan canggung yang lumayan.

Oktober, 2017

oktober, 2017
Logo Pustaka Baca Lingkar Pelangi

Tepat 3 Oktober, kami mengadakan pertemuan tanpa meja di kediaman Nunuy. Sembari menunggu kepulangan 3 gadis SMA, aku, Nunuy, dan sedulurku Ari, membahas beberapa aspek penting yang wajib ada saat mendirikan rumah baca. Baik internal, maupun eksternal. Dengan suguhan makanan ringan dari ibu sahabatku itu, kami bertiga berdiskusi cukup alot.

Kami memulai diskusi paling dasar, menentukan nama apa yang kiranya cocok untuk rumah baca kami. Mengingat ini berkaitan dengan mimpi-mimpi anak, seketika aku mengingat pula kisah hidup paling kusuka, kisah anak-anak laskar pelangi. Kebetulan juga, Nunuy sama-sama suka novel karya om Andrea Hirata itu. Sehingga pada mulanya kami memutuskan nama "Rumah Baca Laskar Pelangi" saja. Akan tetapi aku mulai sedikit menyanggah, berkaitan dengan hak cipta dan sebagainya. Meski aku tak terlalu paham soal itu, aku takut nama tersebut bisa berbahaya suatu saat. Selain itu juga, aku sangat menghormati idoaku.

Lewat perdebatan santai namun panas, dengan alasan dan makna mendalam yang kuat, maka terciptalah nama Pustaka Baca Lingkar Pelangi. Nama yang mudah diingat, meski saat itu aku dengan jiwa pengamatanku,  yakin nama itu bakal tetap bermasalah nantinya.

Kami, bersama 3 gadis remaja yang baru datang karena kehujanan di tengah perjalanan, juga membahas soal lokasi strategis untuk anak-anak membaca. Kembali lagi, aku berdebat santai dengan Nuy. Kami sama-sama mau lokasinya di rumah sendiri, dengan alasan yang sama-sama logis. Dan pemenangnya, masih saja aku. Kupikir bagus juga cara berdiskusiku, sehingga memenangkan hati orang, meski pada kenyataannya aku hanya pendiam.

mengobrol
Ngobrol santai dengan ketua pemuda.

Masih di bulan Oktober, bulan itu betul-betul kami padatkan untuk persiapan pembukaan. Mulai dari meminta izin kepada tokoh agama dan pemerintah, bertemu ketua pemuda, mencari sumber buku, mengadakan pertemuan tak resmi bersama masyarakat, juga menginformasikannya pada anak-anak. Meski aku tak andil langsung karena jadwal kuliah yang masih teramat padat, katanya respon baik sudah kami pegang dari semua kalangan. Jelas, siapa juga yang mau menolak kegiatan positif semacam itu, apalagi mendengar kata gratis. Aku cukup lega juga.

buku-buku
Buku pemberian rumah baca Barudak Lembur, milik A Umba.

Soal buku, di bulan pertama, untungnya Nuy punya kenalan langsung dengan pendiri rumah baca juga. Rumah Baca Barudak Lembur, namanya. Rumah baca yang jauh dari kata medioker. Sudah terfasilitasi dengan baik oleh masyatakat maupun pemerintah desanya. Ya sudah, kupikir perjalanan ini akan baik-baik saja, tak perlu ada yang dikhawatirkan. Seluruh buku, ditata rapi oleh teman sebaya Ari, yang memutuskan ingin jadi anggota tak resmi. Maksudnya, ia akan membantu membawa segala logistik, tanpa terikat aturan organisasi. Masih bingung? Lewat saja, sudah.

November, 2017

November, 2017
Hari pertama yang wah!

Hari minggu yang ditunggu-tunggu, tanggal 5 November 2017, Pustaka Baca Lingkar Pelangi, alias Pusbaling, alias PBLP, resmi dibuka untuk pertama kalinya. Kau tahu? Hampir sama dengan kekhawatiran Bu Mus, yang menunggu satu murid lagi, aku juga sempat khawatir takada satupun anak yang hadir. Tapi, beberapa menit kemudian anak-anak berbondong-bondong datang dari setiap sudut. Hampir saja aku menangis melihat suasana indah pagi, pukul delapanan itu. Anak-anak kampung Sukahurip tergambar jelas punya harapan besar, mereka begitu antusias menjamahi seluruh menu buku yang kami sediakan di teras rumah. Membaca apapun yang mereka anggap menarik, seperti buku dongeng bergambar, novel anak, bahkan geografi, bahkan kamus besar bahasa Inggris. Indah, membuat mata sementara tak gampang berkedip.

Jiwa foto dan videografiku langsung muncul saat itu juga, kurekam setiap momen yang pasti akan mereka kenang itu menggunakan ponsel pintar. Tujuan utamanya hanya satu, aku, tak mau mereka kehilangan memoar masa kecil karena alasan, "sudah lupa."

Kampung Sukahurip pagi itu, seperti diserbu lautan mimpi anak-anak, menggaungkan lantang suara mereka ke tiap sudut rumah di sana. Berebut bacaan yang kebetulan punya selera sama, yang pada akhirnya mereka sepakat mau saling bergantian membaca. Hampir segala usia mau membaca, bahkan beberapa orang tua. Sayangnya stigma orang tua di sana, masih menganggap membaca adalah gengsi dan terlalu terlambat bagi mereka. Padahal sudah kuberi menu spesial, buku tentang bercocok tanam dan tambak ikan. Tapi tidak jadi masalah, kami memang masih berfokus pada anak-anak mereka dulu saja.

orang tua membaca
Tetap membaca walaupun lupa pakai baju.

Di bulan November ini pula, kami masih dibilang "mengekor" pada Rumah Baca Barudak Lembur milik A Umbara. Kami betul-betul mempelajari didikannya, meski hanya perantara mulut Nuy. Kami belum pernah berpapasan dengan orang hebat itu.

Baru pada sekitar tanggal 7 atau 9 November, beliau secara langsung mengundang kami ke acara akbar buat rumah bacanya. Tentulah kami mau menghadirinya. Tantangan baru lagi buatku, dan levelnya semakin meningkat. Aku harus bisa mengamati berbagai sisi di sana, dan diterapkan di PBLP. Pada saat hari acara itu berlangsung, aku dan mungkin kawan-kawanku hanya mampu terkesima. Kemegahan terlihat di mana-mana. Panggung kecil di GOR desa terasa meriah dengan ratusan anak, juga penampil yang sama luar biasanya. Sesaat tidak percaya diri, namun A Umba seakan memotivasi. Ia, membiarkan buku-buku yang tersusun rapi, kami jarah sesuka hati. Sayang sekali, dengan kendaraan yang alakadarnya, kami hanya membawa seukuran satu dus mie instan saja.

kegiatan pblp
Ari, dan anak-anak Pusbaling Pelangi.

Minggu bertemu minggu, bulan November jadi kisah permulaan yang manis. Setiap minggunya, kami usahakan mencari metode segar supaya anak-anak tidak gampang kabur. Belajar bahasa Inggris dan Arab, mendongeng, bernyanyi, menggambar, membuat video perkenalan, menempel daun mimpi di pohon mimpi, membuat karya seni origami, serta banyak hal lainnya. Kami saling bergantian menyapa anak-anak, disesuaikan dengan jadwal kesibukan kami. Mau bagaimanapun, kami masihlah mahasiswa menuju dewasa serta anak-anak SMA/SMK labil. Tak mudah memang, tapi serius, menyenangkan.

Ngomong-ngomong, aku kebagian remah-remah saja biasanya. Kalau bukan yang mengambil gambar, paling jadi yang mengambil video. Sama saja? Memang betul. Aku masih kurang bisa percaya diri berbicara di depan orang banyak, meski yang kuhadapi anak-anak. Mentok-mentok, aku hanya sebagai penambal pengajar utama, alias guru cadangan kalau ada yang meminta izin tak hadir. Jangan khawatir, aku masih tetap merasakan kebahagiaan, meski kadang kepikiran.

Desember, 2017
kekurangan buku

Tantangan pertama, buku bacaan untuk anak-anak mulai menipis. Bukan habis dimakan rayap, atau diseduh jadi mantra supaya cepat paham, melainkan semua sudah habis dibaca mereka. Anak-anak mulai merasa bosan membaca, maunya bermain saja. Di dua pertemuan bulan itu, bahkan satu persatu pemimpi berguguran. Anak lelaki lebih senang bermain bola di lapangan yang jauh dari lokasi kami, sedangkan yang perempuan lebih suka main karet. Kemudian kami, lebih suka cari alasan tak hadir, supaya bisa menikmati minggu pagi. Sudah kubilang, kami masih proses menuju dewasa dan labil.

Menanggapi itu, aku lupa siapa pencetus ide bagus itu, kami para relawan literasi kemudian memutuskan mengajak anak-anak yang masih tersisa, pergi liburan ke Kampung Naga. Ikon kebanggaan masyarakat Salawu, dan sebagai petunjuk paling mudah ketika orang bertanya asalku darimana. Liburan itu, supaya terlihat resmi, kami beri judul: Rihlah PBLP 2017.


Dari perjalanan liburan di Kampung Naga, setitik motivasi dan harapan terpatri dalam diri masing-masing. Seperti Nuy bilang, "tak peduli seberapa banyak sisa anak-anak, karena satu saja, sudah punya mimpi yang maha besar." Sehabis itu, kami putuskan untuk berlibur beberapa belas hari. Menenangkan pikiran apapun yang mulai mengganggu.

2018

banner PBLP
Pemasangan banner Pusbaling Pelangi

Disela liburan, aku tak mau merasa hanya sebagai cadangan saja. Atas nama menantang kurang percaya diri, kutelusuri berbagai komunitas yang memang tupoksi utamanya ialah memberi sekotak buku-buku buat para pegiat literasi. Kuhubungi mereka satu-satu, Perpusnas, Pustaka Bergerak Indonesia, Komunitas 1001 Buku (ini rekomendasi dari Nuy), serta Buku untuk Semua (BUS). Tidak ada yang mengecewakan, semua bersedia jadi donatur penting masih berdirinya Pustaka Baca Lingkar pelangi ini. PBLP yang mulanya mengekor pada rumah baca milik A Umba, sudah mulai bisa berdiri mandiri. Bukan itu saja, beberapa donatur dari pemuda kampung yang bekerja di kota, juga tak kalah penting. Melalui mereka, pada akhirnya aku bisa mendesain banner di basecamp Pusbaling Pelangi, lalu memasangnya.

Semenjak itu, anak-anak kembali berdatangan membaca buku baru yang lebih seru. Sebagai bentuk rasa syukur, kami juga menambah kegiatan baru agar mereka tak cepat lesu. Mengadakan kegiatan bermain kata, lomba cerdas cermat, bermain bola, main karet, di sela membaca buku. Anak-anak juga kami beri panggilan keren, Pendekar Pusbaling, yang diketuai Hamdan sebagai Kapten Pusbaling angkatan pertama.

kegiatan Pusbaling pelangi
Mulai rame lagi, mulai semangat lagi.

Tahun 2018 adalah tahun-tahun terbaik buatku pribadi. Sebab pelangi yang indah betul kami rasakan di tahun ini. Dari senyum paling bahagia para pendekar, buku-buku terus berdatangan tiap bulan dari para donatur, hingga dibumbui masalah yang kadang jadi membesar. Warna-warni bukan?

Kamu ingat soal penamaan yang sudah ku khawatirkan sejak awal? Ya, kekhawatiran itu benar-benar kejadian. Seseorang yang entah apa maksudnya, mengaitkan pelangi indah kami dengan pelangi lain. Pelangi yang sudah kuduga sejak awal, pelangi kaum LGBT. Aku dan Nuy mencoba berpikiran positif, tapi tak kunjung bertemu. Mau bagaimana juga, kami dan kaum mereka jauh berbeda. Mereka soal kebebasan, kami soal meneguhkan dunia literasi. Bukan salah pelangi, tapi salah yang tega membentuk pelangi sebagai jati diri teramat keji.

Kaum-kaum pemilik semboyan, "nakal tapi berakal" juga sempat mengusik kami, terutama aku pribadi. Para pendekar kecil kami didoktrin untuk mempelajari tentang geng motor terkenal yang muncul di film Dilan. Tiba-tiba saja gaya berfoto anak-anak lelaki menjadi tak karuan. Gilanya lagi, banner yang kami pasang dengan indahnya, ditempel stiker logo kaum motoran di belakangnya. Murka? Jelas. Urusan pribadi tak sepatutnya masuk ranah rumah literasi. Aku bahkan sempat menyinggung keras para pelaku untuk berani mengaku, meski hanya sebatas tulisan di sosial maya. Tapi seperti remaja labil lainnya, mereka tak berani mengakuinya, malah sok-sokan berkomedi tanpa berefek tertawa.

Hadeuh, mengapa Dilan harus muncul dan terlalu dilebih-lebihkan anak remaja?


Berusaha menampik segala masalah, kami terus saja menemani anak-anak setiap minggunya. Kalau terus-menerus diladeni, takkan ada habisnya. Fokus, dan biarkan saja. Capek sendiri nantinya. Masalah yang kami hadapi jauh lebih kecil dari semangat para pendekar Pusbaling Pelangi.

Banyak kegiatan baru yang menyenangkan hati para pendekar dan kaptennya. Jadi, mengapa harus mengurus yang tidak penting, sedangkan anak-anak hanya tahu mereka butuh dibahagiakan saja.

kegiatan PBLP 2018


2019

Jika 2018 adalah puncak kebahagiaan, maka tahun ini sebaliknya. Masalah, lelah, menyerah, dan kehilangan. Sejak kepergian Ari karena sudah lulus dan pergi cari kerja ke kota, organisasi jadi tak kokoh lagi. Bahkan sebagai penambal sejati, aku menasbihkan diri sebagai ketua pengganti. Ketiga gadis remaja, disibukkan dengan ujian nasional yang kemudian tiba-tiba dua di antaranya menghilang. Tersisa aku, Nuy, dan satu gadis remaja lagi. Tak lupa, sang anggota tak resmi. Ia mirip DKP era Pak Soekarno, siap setia meski dalam bayang-bayang saja.

Sebesar apapun semangat para pendekar juga kaptennya, kami bertiga sungguh kewalahan pada akhirnya. Tak bisa menyeimbangi, dengan apapun caranya. Kami coba mengganti kapten dengan angkatan kedua, hasilnya nihil juga. Buat kegiatan sahabat pena, tak berlangsung lama. Bukan faktor tidak efektif lagi, tapi lebih kepada diri kami sebagai pegiat terakhir literasi, di Pusbaling Pelangi. Ditekan kesibukan lain yang sama penting, sungguh menyakitkan. Kami bahkan mengajar di kediaman masing-masing, secara bergantian.

kapten PBLP
Maaf, Hamdan itu sedang senyum. Tapi kurang siap di foto saja.

Lihatlah wajah kapten angkatan pertama dan kedua kami, indah bukan? Dua wajah itulah yang selalu menguatkan diriku tiap minggu. Eits, fokus juga ke belakang sebelah kiri. Senyum seorang calon pengantin waktu itu, juga senyum tanda-tanda ia ingin istirahat juga. Huh, sisa dua orang lagi.

Oktober dan November 2019

pohon mimpi
Istirahat sebentar, bukan berakhir.
Aku sebagai ketua yang kurang bisa bertanggung jawab, mengumumkan secara sepihak, Pustaka Baca Lingkar Pelangi libur sejenak. Kusebut pengumuman itu sebagai, perlahan nonaktif secara halus. Konyolnya, aku sengaja mengumumkannya tepat dua tahun hari jadi rumah baca. Jahat memang sang ketua. Tapi mau bagaimana lagi, dua tersisa punya mimpi juga.

Baru pada 30 November 2019, kuresmikan—secara sepihak juga—menutup kegiatan apapun di Pustaka Baca Lingkar Pelangi. Banner yang sudah terkoyak dimakan waktu, kuturunkan dibantu anggota tak resmi setia itu. Sedih, malu, bercampur kecewa pada diri sendiri. Tantangan-tantangan dua tahun belakangan diakhiri dengan kekalahan. Anak remaja motoran, pasti senang dengan kemenangan yang didapatkan.

Sebagai momen perpisahan, kapten angkatan pertama dan kedua, serta beberapa pendekar lainnya, sempat memberi kejutan padaku di salah satu minggu. Kami, mengobrol di sana, tanpa sedikitpun membahas kalimat berpisah. Kami tertawa, dan akan tetap begitu jika berpapasan nantinya.

2020

kegiatan PBLP
Adel, paling kecil di sebelah kiri.
Siang hari ketika hendak membeli gorengan di warung, aku bertemu Adel, gadis kecil murah senyum yang juga tim Pendekar Pusbaling. Ia masih mengingatku bahkan namaku. Ia bertanya menggunakan bahasa Indonesia, "A Nandar, kapan rumah baca dibuka lagi? Kenapa gak dibuka lagi?" Aku tersenyum gemetar, takut salah menjawab. 

Tiba-tiba saja, ibu pemilik warung ikut nimbrung, "Kan lagi ada virus. Nanti, kalau udah normal lagi, pasti buka. Iya kan, A?" Aku hanya mengangguk. Antara terbantu, atau malah semakin terjebak.

"Nanti kalau udah buka, ajak temennya lagi ya." Singkatku. Seperti mendapat kabar baik, Adel terlihat girang lalu pulang.

Sebelum pertanyaan Adel kuterima, aku juga sudah punya ambisi untuk mengembalikan Pubaling Pelangi. Salah satu mimpi keenam dari tujuh mimpi-mimpiku. Aku ingin mengikuti jejak idolaku. Kalau om Andrea Hirata membangun museum Laskar Pelangi, aku mendirikan Kembali Pustaka Baca Lingkar Pelangi.

Bukan Kesimpulan
pohon mimpi

Masih banyak sebetulnya cerita yang belum aku ceritakan di sini. Misalnya kedatangan tamu spesial, detail suka duka para pegiat, kegiatan Agustusan, bagaimana cara kedua kapten mengatur pendekarnya yang kadang kocak, serta masalah besar lainnya. Namun berhubung gawaiku semakin lag, karena mungkin kepanjangan menulis, jadi agak terganggu fokusku buat menceritakan detailnya. Sebagai gantinya, kamu bisa melihat momen indah itu di sini:


Semua arsip kenangan Pusbaling Pelangi tersimpan rapi, kamu bisa melihat berbagai kisah warna-warni, selayaknya pelangi.

Sebagai permintaan pribadi, besar harapanku, kamu yang membaca catatan ini, untuk singgah dan berkomentar di salah satu sosial media milik PBLP manapun. Boleh ungkapan semangat, kesan setelah membaca tulisan ini, atau harapan untuk Pusbaling Pelangi ke depan. Biarlah komentar di tulisan ini sepi, yang penting kedatangan kalian di sosial media kami, membuat kerinduan antara kami terobati. Nanti, kalau ada satu saja yang singgah, pasti kucolek mereka semua. Pendekar yang sudah mulai dewasa, juga para pegiatnya. Janji.

Terakhir, pesan dari saya, kalau perjuangan panjangmu berakhir dengan kegagalan, jangan anggap itu kegagalan. Kamu sudah berjuang dan melewati tantangan tahap demi tahap pun, itu sudah jadi kesuksesan besar dalam hidupmu. Ingat, kesuksesan abadi berada di akhirat, milik Tuhan. Hadapilah tantangan itu, meski gagal terus-menerus. Percayalah, Tuhanmu menghargai semuanya.

pendekar pusbaling pelangi
4 komentar

4 komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!
  • MizzYani
    MizzYani
    07 Januari, 2021 19:56
    Inspiratif dan keren sekali kegiatannya Mas Nandar. Aku pun turut bahagia melihat antusiasnya anak-anak mau baca buku di tengah gempuran gadget.
    • MizzYani
      Nandar IR
      07 Januari, 2021 21:35
      Iya, dulumah keren, sekarangmah gak bisa keren lagi. Soalnya sudah tutup. 😅
      Yap, sebetulnya anak-anak bisa kok baca buku, asal fasilitasnya bagus.
    Reply
  • Dodo Nugraha
    Dodo Nugraha
    07 Januari, 2021 14:01
    Waaah mashaa allah seakali kang. Jiwa yang sangat mulia untuk menolong adik adik kita, agar melek literasi. Perjuangan jg yg tak mudah.. Semoga diberkahi Allah...
    • Dodo Nugraha
      Nandar IR
      07 Januari, 2021 14:51
      Alhamdu lillaah bang, lewat ajakan sahabat, saya jadi ikut kecipratan bahagianya.
      Aamiin, semoga anak-anak negeri ini masih punya banyak mimpi. Mereka punya mimpi itu pasti, tinggal orang dewasanya yang mau mengerti.
    Reply