h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Cerpen 'Tiga Puluh Menit' | Kumpulan Cerpen Waktu #3

kumpulan cerpen cinta

Tiga Puluh Menit

Nandar IR

Suara-suara bising bergantian mengerubuni pukul delapan pagi ini. Mesin kendaraan menantang sunyi, beradu di pusat kota Singaparna. Para kondektur memekik berebut penumpang, mencari sesuap nasi. Tak kalah, burung-burung yang aku tidak tahu jenisnya apa, ikut memeriahkan kegaduhan. Langit di atas kepala terlalu cerah buat mengusir kebisingan.


Alun-alun kota ini lebih cocok disebut sel kedap suara. Tak kudengar apapun selain kesunyian. Tak ada suara yang kuizinkan masuk selain kamu. Yang sejak lima menit tadi ikut membisu.


Kamu bernama Alinea. Di bangku taman ini, kamu dan aku duduk bersebelahan. Sedang ruang kosong—sejengkal—di tengah kita, sengaja kamu buat. Ruang kosong yang berarti memang sedang ada jarak hati di antara aku dan kamu.


Kulihat kamu memain-mainkan jemari halusmu. Bergemetar, sedang gusar. Aku tak pernah berani menenangkan jari-jemari itu sejak dulu. Alasannya, tentu saja karena kain yang menutup kepalamu.


Tak sanggup aku melihat keadaanmu. Dua pasang mataku hanya bisa memandangi sepasang bunga yang telah lama mati. Aku ingat sekali, dulu mereka hanyalah kuntum bunga di alun-alun kota ini.


“Aku masih mengingatnya.” Setelah satu menit berlalu, kamu mengalah. Kamu sadar bunga itu jadi objek pandangan kosongku.


Kemudian aku menatap kedua pipimu. Genangan di merah pipimu, seakan menghinaku. Aku lelaki keras kepala, membiarkan seorang wanita menangis dan memulai bicara.


“Katamu, dua pasang mawar itu, kisah tanpa kata kita.” Tangan halus itu mengusap-usap pipi, yang mulai dibasahi airmata. “Kamu sering memuji mereka, apalagi saat sudah merekah. Dulu aku sering bertanya-tanya, bagaimana bisa mawar itu mengetahui kisah kita sampai saat ini?"


Kamu terus saja bercerita soal sepasang bunga mati itu. Mulai sejak menguncup, lalu mekar, hingga tak berbentuk lagi. Kamu seakan mengiyakan perjalanan mereka adalah lukisan kisah kita berdua.


Sekali lagi, aku tak bisa menjawab apapun yang kamu tanya.


Alinea menengokkan wajahnya padaku. Saling menatap sepi di masing-masing bola mata kami. “Bagaimanapun, keduanya telah lama mati.” Kamu menegaskan kisah akhir sepasang bunga nahas itu.


Selembar kertas berbungkus plastik kamu letakkan di batas duduk kami. Tangan halusnya mengusap pundakku. "Kamu lelaki baik, beruntung aku pernah kenal denganmu."


Alinea dalam mataku mulai mengecil. Setiap langkah kakinya adalah rasa sakit dan bersalah. Di ujung sana, dua pasang bunga mati itu akhirnya merebahkan diri mereka di tanah.


Taman Singaparna ini mendadak bising. Pedagang kaki lima yang mulai menjajakan dagangannya, pengamen, keluarga bahagia, juga sepasang anak SMA di terminal kota, kembali meramaikan kota. Menyisakan kehampaan yang perlahan kuikhlaskan. Bola mataku memerah, tegar sebisanya. Larut dalam alun-alun kota yang kini seperti kota biasa.


Dari jauh kupandangi kamu pulang, bersama lelaki yang lebih berani dari pada diriku. Aku tidak bohong, rona wajahmu sangat bahagia berada di sebelahnya. Begitu juga lelaki itu.


Cerpen Series "Waktu" Lainnya:

6 komentar

6 komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!
  • enda tari
    enda tari
    16 Maret, 2021 11:03
    cerpen yang sangat bagus , saya merasa seperti terbawa suasana mellow deh jadinya .
    • enda tari
      Nandar IR
      16 Maret, 2021 11:21
      Terima kasih kak, apresiasinya.
    Reply
  • Gustyanita Pratiwi
    Gustyanita Pratiwi
    27 Februari, 2021 13:10
    'nyes' banget ati membacanya hehe

    cerpen yang bertabur pilihan kata yang kaya, bertumpuk kias dan manis...

    Alinea yang dipinang orang lain hanya karena tokoh aku gamang tak jua mengutarakan perasaannya...duh...dalem banget hehe

    bagus 😃
    • Gustyanita Pratiwi
      Nandar IR
      27 Februari, 2021 14:33
      Terima kasih kak. Mohon maaf kalau masih banyak ketidakkonsistenan di ceritanya. Masih tahap belajar. 😅
    • Gustyanita Pratiwi
      Gustyanita Pratiwi
      27 Februari, 2021 17:25
      ga kok...

      aku merasa tiap kata kata yang menggambarkan kasih tak sampai ini terasa sangat mengaduk aduk perasaan....nyes banget hihi

      #kebawa baper aku bacanya xixiixix
    • Gustyanita Pratiwi
      Nandar IR
      27 Februari, 2021 19:00
      Wah, makasih kak untuk apresiasinya. 😊
      Semoga cerpen-cerpen selanjutnya bisa lebih nyes lagi saat dibaca. 😁
    Reply