Seorang anak baru masuk sekolah dasar, jatuh cinta pada teman satu kelasnya. Terkesima, padahal bedak di wajahnya masih berdebu.
Lelaki remaja rela meluangkan banyak waktu, demi bisa mengobrol selama mungkin bersama gadis idamannya. Menemani pulang, duduk bersampingan di bangku angkutan umum. Sesekali memandang teguh senyum manisnya. Setiap saat, tanpa absen.
Atau bisa saja seorang guru mengagumi siswanya sendiri. Menanti dengan sabar, berdoa di tengah malam, menunggu jarum jam berdetak di waktu yang tepat.
PUISI: Dari Jarak Terdekat
Jatuh cinta itu rumit. Serumit bertemu diksi yang indah untuk sebuah karya sastra. Bisa saat itu juga menemukan ratusan kalimat bermakna, atau malah tutup pena.
Ada yang saling merasakan jatuh cinta yang sama, tanpa perdebatan. Ada yang salah satunya saja, sehingga bertepuk sebelah tangan.
Jatuh cinta bisa penuh syarat dan pertanyaan. Biasanya, sebagai bentuk bukti keseriusan. Bisa saja sederhana, bisa pula rumit-serumitnya.
Jatuh cinta pada dasarnya menyenangkan. Sulit rasanya menemukan istilah buruk apa yang bisa memaknai sebaliknya. Setiap jaraknya dipenuhi cerita indah, tanpa jeda.
Mungkin, yang buruk dari jatuh cinta adalah manipulasinya. Seketika jadi makhluk paling sempurna, padahal luarnya sering menyiksa. Begitulah, untuk mendapatkan hati, kadang harus selalu menyisipkan hiperbola. Tapi bukankah hiperbola bisa memperindah diksi biasa, menjadi lebih berirama?
1 komentar