Cerpen "Lampor" merupakan salah satu dari kumpulan cerita pendek, Cerpen Pilihan KOMPAS 1994. Cerpen ini menjadi karya terbaik, sehingga menjadi judul utama dalam sampul bukunya.
Sebagai karya teratas, tentu cerpen ini memiliki nilai plus lebih dari cerita pendek lainnya. Lampor, menjadi sebuah gambaran suram kehidupan orang pinggir kota. Sebuah bacaan wajib buat kamu, yang ingin mengetahui sisi kelam negeri ini.
Bagaimana riviu atau resensi lengkapnya? Yuk, mari kita masuk!
Abstrak
Pukul enam pagi, gubuk reyot milik Abah Marsum sudah bising diteriaki istrinya, Sumiah. Istrinya sudah sibuk memaki-maki keadaan rumah, dirinya, dan ketiga anaknya: Tito, Rois, dan Rohanah. Keadaan yang sudah jadi kebiasaan di gubuk dekat kali comberan.
Sumiah memang sering dibuat geram dengan keseharian Abah Marsum yang hanya sibuk tidur dan membual soal kekayaan yang akan didapatkannya. Setiap akan meminta jatah uang belanja, Abah Marsum selalu tak punya. Bukan hanya tentang suami useless-nya saja, Rois dan Rohanah juga menambah pusing kepala. Barangkali, hanya Tito saja yang bisa membuat emosi Mak Tua mereda.
Rohanah, gadis tiga belas tahun, sudah belajar seperti pelacur sekaligus penipu lelaki. Gayanya tak seperti gadis anggun ala orang kota. Bahkan ia sama sekali tak tahu makna durhaka pada orang tua. Rohanah suka sibuk menggoda lelaki, sampai bisa mendapat uang buatnya sendiri.
Suramnya Kehidupan Pinggir Kota
Sebagai pembaca awam terkait cerpen-cerpen Kompas, saya bisa merasakan betapa kisruhnya kehidupan orang-orang pinggir kota, dalam cerita pendek karya Joni Ariadinata ini. Deskripsi lengkap soal bagaimana kumuh dan sempitnya gubuk yang ditinggali lima orang sekaligus, kegiatan jorok di kali, kebisingan sebab masalah keluarga, begitu bisa dirasakan walau hanya dengan membaca cerpen ini saja.
Abah Marsum jadi sosok tidak becusnya seorang kepala keluarga. Menjadi lelaki yang hidup seenaknya, hanya memerintah, juga terlalu banyak bertingkah ingin jadi orang kaya tanpa mau usaha.
Lingkungan yang buruk di pinggir kota, juga membuat tiga pasang kakak beradik: Tito, Rois, Rohanah, menjadi anak tanpa bekal akhlak. Pergaulan bebas menjadikan sikap dan karakter mereka rusak.
Akhir Cerita yang Membelalakan Mata
Saya kira akhir cerita cerpen Lampor ini tidak akan terlalu gelap. Mungkin hanya mengarah ke soal masih saling menyayangi, atau sejenisnya. Ya… memang arahnya tetap pada saling menyayangi, namun jauh lebih "intens."
Tito yang dalam cerpen ini seperti akan jadi tumpuan harapan Sumiah dan keluarga, justru berbuat hal yang jauh lebih gila. Sekali lagi, akibat pergaulan bebas.
Cerpen Lampor bisa saja dikategorikan semi dewasa, meski sesungguhnya tidak digambarkan secara terbuka. Masih aman jika dibaca anak remaja SMA.
10 komentar
Saya baru membaca cerpen beliau yang ini saja, tapi sudah sok bikin riviu. Hehe.
Tapi mudah"an tetap bisa diterima. Soalnya saya baru belajar bikin beginian. 😁
Btw, salam kenal kak Khairunnisa. Saya Nandar, pake R.
Apabila iya, nampaknya besok saya tidak lagi memanggil "mas" tetapi "om" hehee
lampor ini secara garis besar menggambarkan potret keluarga mddle low ya, menyoroti kaum terpinggirkan yang untuk makan di hari esok saja sudah mikir keras, mau makan apa dan bagaimana cari uangnya. Realita potret kepala keluarga yang useless, ibu yang terpaksa turun tangan membenahi finasial keluarga, juga anak-anak yang terjebak dalam lingkungan sosial yang keras dan kejam. Lumayan penasaran juga dengan muara ceritanya akan bagaimana. Yang kutangkap sepertinya sosok anak perempuannya ya yang pada akhirnya akan menjadi pusat dari penceritaan segalanya :D
Pas saya baca ending ceritanya, saya langsung nyesek sekaligus baca istigfar 😅. Tidak ada kata-kata jorok sih di cerpen ini, tapi emang rasanya aneh saja gitu. He.