h2amzOiq2Tn9rmGhajOa165fMKwBqbFxQjYwl3bC
Bookmark

Yang Tak Masuk Akal di Lembaga Pendidikan | NGOBROL #13

Hampir semua orang pasti mengalami masa sekolah. Taman kanak-kanak, sekolah dasar, SMP, SMA, sampai ke jenjang perkuliahan. Dan hampir semua yang mengalami masa itu, pernah mendapatkan hukuman, karena melanggar aturan. Entah itu bolos sekolah, terlambat, salah warna sepatu, ujung rambut sudah sampai telinga, dan hal-hal lainnya.

Tapi pernahkah melihat, atau setidaknya mendengar, guru dihukum karena melanggar aturan sekolah? Benar, jarang sekali. Atau bahkan tidak pernah sama sekali. Mengapa demikian?

Peraturan sekolah, hanya terpampang jelas untuk para siswa saja

Dari pengalaman saya menjadi anak sekolahan, saya tidak pernah melihat kalimat yang menyudutkan guru, sebagai subjek yang harus patuh terhadap aturan sekolah. Di satu lembar HVS, tata tertib hanya memfokuskan pada para siswanya saja. Tidak pada keseluruhan warga sekolah, khususnya pada guru. Kalaupun ada, kalimatnya hanya berisi tentang sopan dan santun.

Aturan dan tata tertib sekolah, hanya diberatkan pada para siswa. Tidak boleh memakai sepatu selain warna hitam putih, baju harus terus masuk, tidak boleh memakai perhiasan, rambut rapi dan tidak panjang, tidak boleh terlambat apalagi bolos, jangan berkata kasar atau kotor, memberi salam ketika bertemu guru di sekolah maupun di luar, dan aturan-aturan lainnya.

Tidak ada yang salah dengan aturan dan tata tertib. Sebab jelas, hal semacam itu dimuat, agar semua siswa bisa bersikap baik dan memiliki sopan santun. Tidak membangkang.

NGOBROL: Tingkat Baper Orang, Berbeda-beda

Tapi yang jadi masalah, mengapa hanya siswa saja yang punya selembar tata tertib itu? Mengapa jarang sekali sekolah yang menempelkan tata tertib khusus untuk para guru? Bukankah guru juga ada yang "nakal", sengaja tidak masuk kelas, terlambat dan sebagainya?

Ada lho, guru yang sengaja terlambat dengan alasan macet di jalan. Padahal jalanan masih lengang.

Giliran murid yang bicara begitu, pasti jawabannya:

"Jangan banyak alasan!"

Sehingga siswa biasanya dihukum berdiri di depan kelas, atau parahnya disuruh diam di luar. Siswa tidak bisa melawan, karena aturan sudah tertera di dinding dekat pintu kelas.Tidak boleh terlambat sekian menit.

Dididik untuk bungkam

Kalau guru terlambat, apa yang terjadi? Bolehkah para siswa menyuruhnya berdiri di depan kelas atau keluar? Tentu saja sulit.

Pada situasi inilah, secara tidak langsung mereka diajarkan untuk bungkam ketika melihat ketidakbenaran.

Tidak ada yang berani bersuara. Semua takut dengan konsekuensinya. Bisa-bisa nilai di rapor tidak sesuai KKM. Atau lebih ngerinya lagi, dilawan balik dengan berbagai alasan. Pada akhirnya, guru tersebut bisa pundung, tidak mau mengajar di kelas. Serba salah memang.

Siswa seolah-olah hanya diajarkan untuk memaafkan kesalahan guru. Mengiyakan, jika guru sudah berkata, "maaf ya anak-anak, ibu terlambat. Tadi dijalan macet." Kemudian tidak ada tindakan apa-apa lagi. Seakan wajar jika alasan tersebut keluar dari mulut seorang guru. Padahal mungkin saja, guru juga sedang beralasan.

Selama tiga tahun belajar, siswa lebih banyak bungkam melihat kesalahan para guru mereka. Bukan karena rasa hormat, tapi karena takut. Takut jika akhir ceritanya, dikeluarkan dari sekolah.

Janji siswa ada, kok janji guru tidak pernah ada?

Sama halnya dengan selembar tata tertib di kelas, kalimat-kalimat janji di upacara hari Senin, juga hanya dikhususkan untuk siswa saja. Seluruh siswa harus mengucapkan butiran janjinya. Itu janji, lho! Jangan macam-macam.

NGOBROL: Filosofi Kotoran Sendiri

Bagaimana dengan guru? Lagi-lagi, beliau tenang berdiri paling depan, tanpa kepikiran janji apapun. MC upacara tidak pernah menyebutkan pembacaan janji guru oleh kepala sekolah, yang kemudian diikuti guru lainnya.

Tidak masuk akal

Inilah yang disebut tak masuk akal di dunia pendidikan. Ketika siswa dibebani janji-janji dan tata tertib sekolah, para guru tidak berani mengimbanginya dengan aturan untuk mereka sendiri.

Lembaga pendidikan seharusnya bisa seperti sebuah negara. Yang ketika satu aturan tata tertib dibuat, maka semua kena. Harusnya tidak ada ketimpangan yang menguntungkan satu grup.

Tidak mesti semua disamaratakan. Namun, setidaknya guru juga bisa pandai memilah. Mana tata krama, dan mana tata tertib sekolah.

Guru sepantasnya menyadari, jika mereka juga manusia. Bisa saja sewaktu-waktu salah. Kalaupun guru mengakui kesalahan di depan kelas, dan siap dihukum, para siswa tentu juga tidak akan tega melihat guru mereka dihukum. Malah kemungkinan besar bisa mendapatkan respek.

Begitu saja unek-unek yang sejak dulu tertahan. Semoga pendidikan di negara kita semakin membaik dan membumi. Sampai nanti, di ngobrol episode berikutnya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Hai! senang bisa mendapat komentar darimu. 😊
Sok, kasih kritik maupun saranmu buat blog ini. Jangan nanggung, hajar aja!